PortalAMANAH.com -- Halaqah 73. Bab 08: Sesuatu Yang Berkaitan Dengan Bid'ah Termasuk Dosa Besar Yang Paling Dahsyat - Pembahasan Dalil Kelima Hadits Shahih Riwayat Ummu Salamah Bagian 1. Pembahasan kitab Fadhlul Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله.
Beliau mengatakan, [وفيه أيضا] Yang dimaksud dengan [فيه] adalah di dalam hadits yang shahih. Karena hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim saja.
Hadits ini dari Ummu Salamah رضي الله عنها, beliau mengatakan,
عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون، فمن عَرَفَ بَرِئَ، ومن أنكر سَلِمَ، ولكن من رضي وتابع, قالوا: أفلا نقاتلهم؟ قال:لا، ما صَلَّوا
Akan ada pemimpin-pemimpin atau amir-amir, [فتعرفون وتنكرون] Kalian mengenal dan mengingkari. [تعرفون] maksudnya adalah kalian mengetahui bahwasanya mereka melakukan sesuatu yang ma’ruf bukan sesuatu yang mungkar. [وتنكرون] dan kalian mengingkari.
Ada sebagian amalan-amalan yang kita kenal dan ketahui bahwa amalan-amalan tersebut adalah amalan yang ma’ruf, diperbolehkan di dalam syariat bahkan ada yang disyariatkan, juga ada di antaranya yang merupakan amalan yang mungkar. Ini menunjukkan bahwa umara’ (pemimpin-pemimpin) itu adalah makhluk sehingga masih tercampur amalannya antara yang baik dan yang buruk.
Barangsiapa yang mengenal maka sungguh dia telah berlepas diri. Maksudnya adalah mengenal dan mengingkari (hatinya mengingkari), maka dia telah berlepas diri.
Barangsiapa yang mengingkari maka dia selamat. Maksudnya bukan hanya mengingkari dengan hatinya (seperti yang disebutkan pertama di atas), namun dapat juga dengan lisannya, dia berani. Ini tidak mengharuskan untuk mengingkari dengan jahar. [ومن أنكر سَلِمَ] Barangsiapa yang mengingkari (misalnya dengan lisannya) maka dia telah selamat. Ini jangan diartikan mengingkari dengan lisan berarti harus dilakukan dengan jahr atau dengan berdemo seperti yang dipahami oleh sebagian orang. Mereka memahami bahwa [كلمة الحق عند سلطان جائر]. Kalimat yang benar disampaikan di depan pemimpin yang zalim, kemudian dia membayangkan seperti yang dilakukan oleh sebagian yang melakukan cara-cara membeberkan kesalahan di depan orang banyak. Bukan seperti ini yang dimaksud.
Tidak ada kelaziman mengingkari dengan lisan kemudian melakukan demonstrasi dan dilakukan di hadapan orang-orang. Seandainya seseorang berduaan dengan pemimpin tersebut kemudian dia mengingkari dengan lisannya dengan mengatakan “Yaa Fulan, Yaa Amir, yang demikian itu tidak boleh, mengingkari syariat, bertaqwalah kepada Allah سبحانه وتعالى, tunaikanlah amanah”, maka ini juga termasuk mengingkari dengan lisan. Dan tidak harus mengingkarinya dengan melakukan ha tersebut di hadapan orang banyak. Dan ini pun dinamakan dengan “ingkarul mungkar”.
Yang celaka adalah orang yang ridha, yang tidak ada pengingkaran di dalam hatinya. Ini berbeda dengan yang pertama tadi, bahwa dia mengetahui dan mengingkari. Adapun ini, dia [رضي] meridhai kemungkaran tersebut, [وتابع] ditambah lagi dia kemudian mengikuti kemungkaran tersebut. Maka orang demikianlah yang celaka.
Mereka mengatakan (yaitu para sahabat) ketika disampaikan kepada mereka tentang kedatangan dan akan datangnya umara’ atau pemimpin seperti yang disebutkan tadi, yaitu melakukan yang ma’ruf dan juga yang mungkar, atau mungkin juga melakukan kefasikan (termasuk perkara yang mungkar), atau mereka melakukan kezaliman (juga termasuk kemungkaran). Fasik dan kezaliman adalah kemungkaran. [ قالوا: أفلا نقاتلهم؟] Apakah kami memerangi mereka? Karena mereka sebagai pemimpin yang diberikan amanah justru melakukan kemungkaran baik menzalimi rakyatnya atau melakukan kefasikan. Kefasikan ini untuk dirinya sendiri yang tidak sampai menzalimi orang lain, namun kezaliman itu juga berpengaruh kepada orang lain.
Maka Nabi ﷺ mengatakan: “Tidak!”. Maksudnya [لا تقاتلهم] Janganlah kalian memerangi mereka. Sebab jika sampai memerangi mereka, maka akan terjadi mudharat yang lebih besar.
Benar bahwasanya kezaliman mereka (pemimpin) dan kefasikan mereka adalah mudharat, namun memerangi mereka dan keluar memberontak kepada mereka akan mendatangkan mudharat yang lebih besar. Dan syariat kita adalah syariat yang mungkin tujuan utamanya adalah (pertama) menghilangkan kemudharatan atau (kedua) meringankan kemudharatan.
Jika tidak menghilangkan keseluruhan maka setidaknya mengurangi kemudharatan. Inilah kaidah di dalam syariat. Jika seseorang dengan keluarnya dia memerangi pemimpin-pemimpin yang zalim tadi, justru akan terjadi kemungkaran yang lebih besar dan ghalibnya lebih besar. Maka tentunya keluar memberontak kepada pemerintah bukanlah sesuatu yang disyariatkan, karena akan terjadi mudharat yang lebih besar.
Dan inilah yang terjadi, tidak ada sebuah pemberontakan yang terjadi di sebuah negara kepada pemimpin yang syar’i kecuali setelahnya adalah kehancuran dan kebinasaan. Kota-kota yang sebelumnya hidup dengan manusianya, setelah itu menjadi kota yang mati yang tidak dihuni lagi oleh manusia. Seandainya mereka mau bersabar, kehilangan satu rumah (misalnya) dan mau bersabar, niscaya ribuan rumah akan terselamatkan.
Namun jika karena perkara satu rumah yang kemudian dibesa-besarkan oleh mereka, dan mereka mengatakan bahwa “ini adalah kezaliman”, kemudian mereka memberontak kepada penguasa, maka akan terjadi adalah ribuan rumah akan hancur dan binasa. Jika mau bersabar, mungkin saja penguasa membunuh 1 orang secara zalim, atau dipenjara secara zalim, maka niscaya akan selamat ribuan manusia.
Namun jika tidak mau bersabar, maka jika ada tokoh mereka yang terluka atau dipenjara tanpa hak, kemudian mereka memberontak dan terjadi peperangan karena ketidaksabaran mereka (akibat ada yang terbunuh), maka akibatnya puluhan bahkan ribuan manusia akan terbunuh.
Dan bukan demikian tujuan syariat Islam, “ingkarul mungkar” di dalam Islam “dhawaabi’”, Allah سبحانه وتعالى telah men-syariat-kan kita untuk mendengar dan taat kepada penguasa, dan bersabar atas kezaliman mereka. Dan kefasikan serta kezaliman mereka tidaklah menghalalkan seseorang untuk memberontak kepada penguasa.
Dan ini semua disyariatkan untuk kemashlahatan kita sendiri. Jangan kita menyangka bahwa ini disyariatkan demi kesenangan penguasa dan pemimpin. Jangan kita mengira bahwa syariat seperti ini agar pemimpin-pemimpin tersebut merasakan nikmatnya, tidak.
Syariat ini، yaitu [السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ ولاة الأم] adalah demi kepentingan kita sendiri.(*)
Artikel Terkait
Fadhlul Islam - Dakwah Ajak kepada Kebaikan atau Kesesatan
Fadhlul Islam - Sunnah Jahiliyah adalah Bidah
Fadhlul Islam - Pahala Mengamalkan Sunnah
Fadhlul Islam - Ancaman bagi Khawarij
Fadhlul Islam - Kezaliman Dilakukan oleh Umara