Oleh: Supriadi Yosup Boni, Ketua Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar
PortalAMANAH.com -- Judul di atas merupakan sepotong kalimat yang menyimpan pesan hakikat penghambaan amat dalam ini diungkapkan sosok KH. Abdullah Said - rahimahullah - pendiri pesantren Hidayatullah, Gunung Tembak, Kalimantan Timur yang sekarang sudah menjadi Ormas Islam.
Saya dengar ungkapan tersebut disampaikan oleh beberapa ustadz di Makassar yang sempat belajar di bawah bimbingan sang kiyai kharismatik itu. Hampir semua murid-murid beliau merasa heran shalat malam sang Kiyai yang amat panjang, yakni antara tiga sampai empat jam setiap malam.
Di tengah rasa heran dan kagum itu, ada yang memberanikan diri untuk menanyakannya kepada sang Kiyai, mengapa shalat lailnya begitu panjang, padahal umumnya gerakan dan bacaan shalat relatif pendek-pendek, terkecuali baca surah setelah al-Fatihah, memungkinkan untuk dipanjangkan.
Hanya saja, kekaguman para murid adalah rukuk dan sujud sang Kiyai yang teramat panjang dibanding rukuk dan sujud pada shalat-shalat lainnya seperti yang dijumpai di kebanyakan kaum muslimin. Itu sesungguhnya yang memantik rasa penasaran para murid beliau.
Respon terhadap pertanyaan para murid, sang Kiyai hanya menjawab singkat dan tidak terjebak dalam teoritis ritual yang panjang. Beliau menyatakan: “Persoalan shalat itu bukan sekadar gerakan dan bacaan, namun persoalan inti shalat ada pada rasa.”
Awal mendengar kalimat singkat itu “diceritakan”, akal dan fikiran serta hati saya terdiam kagum. Betapa jawaban itu menyimpan makna sekaligus petuah tentang hakikat penghambaan kepada Allah ta'ala melalui ibadah shalat.
Jawaban itu – minimal menurut saya – hanya muncul dari hati yang tingkat ma’rifahnya tentang relasi sejati antara sang makhluk dengan sang Khalik sudah teramat tinggi.
Memang, relasi kita dengan sang Khalik semestinya tidak hanya sebatas sekumpulan gerakan dan ucapan artifisial. Akan tetapi, relasi tersebut mesti tertanam kokoh dalam hati, jiwa, akal dan fikiran serta dimanifestasikan menjadi rasa yang hadir dalam aktivitas ritual.
Betul, bahwa aktivitas ibadah yang kita tunaikan mustahil bisa dilepaskan dari gerakan dan bacaan. Sebuah ibadah tidak mungkin hanya berupa rasa atau diam dalam keheningan. Namun, jika fokusnya hanya pada gerakan dan bacaan tanpa rasa, ibadah itu akan hambar dan tidak tinggalkan bekas apa-apa pada diri.
Jawaban singkat sang Kiyai tersebut mengantar saya memahami kata khusyu’ dalam ayat:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Terjemahannya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'”. (Qs: al-Baqarah: 45)
Betul, yang membuat kita – minimal saya – kadang merasa shalat itu berat, karena parameter kwalitasnya masih dalam tataran gerakan dan bacaan. Setuju, bahwa gerakan sempurna dan bacaan tartil penting dalam shalat. Namun, mungkin keduanya dimaksudkan sebagai pemantik menghadirkan rasa dalam shalat.
Artikel Terkait
Bhulugul Maram - Keutamaan Dan Waktu Shalat Witir
Kenapa Kita Shalat. Sebagai Ungkapan Rasa Syukur Terbesar
Spirit Tahajud - Keutamaan Doa Saat Shalat Tahajud
Apakah Sah Shalat Tanpa Menggerakkan Bibir ?