Oleh: Supriadi Yosup Boni, Ketua Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar
PortalAMANAH.com -- "Tidak shalat lail, sebaiknya diam" kureang lebih demikian kalimat sederhana “menohok” diucapkan sang murabbi KH. Abdullah Said kepada para sejawat dan murid-murid beliau yang mendampingi kala hendak menyelesaikan persoalan-persoalan keummatan.
Ungkapan yang sama, beliau sampaikan juga ke segenap rombongan ketika hendak berjumpa dan mengomunikasikan kepentingan ummat kepada pihak-pihak berwenang.
Pertama kali saya mendengar para asatidzah di Hidayatullah Makassar mengisahkan kapan dan bagaimana serta dalam rangka apa kalimat singkat itu dilontarkan sang Kiyai, otak dan fikiran saya tetiba berselancar mencari makna dan hikmah besar apa yang bisa saya petik di balik tuturan itu.
Di tengah fikiran mencari arti dan pesan yang terkandung di dalamnya, tetiba tangan saya menarik pulpen dan mengeluarkan buku saku dari kantong sembari mulai merumuskan beberapa pesan penting dari ungkapan di atas – minimal untuk saya – yang diantaranya:
Pertama: parameter orang berkwalitas ternyata “haram” sederhana. Dengan kalimat lain, parameter personal yang ditetapkan dapat dijadikan indikator untuk mengukur kwalitas kepribadiannya dari semua sektor.
Kalimat lainnya, siapapun yang hendak mencapai tingkatan ideal maka wajib menetapkan passing grade yang tinggi.
Mari kita telaah ungkapan tersebut sedikit lebih dalam. Shalat lail itu tergolong sunnah yang sifatnya optional (pilihan). Ia sudah melampaui shalat fardhu yang sifatnya instruksional (wajib). Artinya, orang yang menjadikan shalat lail sebagai parameter keterlibatan dalam persoalan ummat jauh lebih tinggi ketimbang yang hanya merasa cukup dengan shalat fardhu – tanpa menganggap enteng shalat fardhu tentunya -.
Selanjutnya, shalat lail termasuk ibadah sunnah yang paling sulit dan paling berat didirikan apalagi diistiqamahi dan dikonsistenkan. Shalat sunnah seperti rawatib, dhuha dan lainnya tidak seberat shalat lail untuk dikerjakan. Faktanya, sangat sedikit orang dimampukan menunaikannya, terlebih melaziminya setiap malam.
Kedua; orang berkwalitas tidak pernah mengandalkan kejagoan dan kehebatan dirinya. Orang hebat dan istimewa selalu melibatkan Allah swt dalam segala urusannya. Sebab, pengendali utama kehidupan ini adalah Allah swt.
Saya yakin, mereka yang diajak sang murabbi mendampinginya mengelola urusan ummat bukan orang biasa-biasa. Kapabilitas dan kompetensi mereka dijamin di atas rerata orang biasa. Toh demikian, sang murabbi tetap menjadikan shalalt lail sebagai "SIM" untuk diizinkan – minimal – ikut memberi komentar dan pandangan.
Pinta sang murabbi kepada orang yang tidak shalat lail untuk diam menitahkan pesan untuk tidak andalkan kemampuan bicara, baik lisan maupun fakta dan data. Pasalnya, data, fakta dan retorika bicara seseorang yang hebat nan sempurna tak berpengaruh apa-apa jika komunikasinya dengan Allah swt tersendat.
Ketiga: orang berkwalitas semestinya menjadikan malam harinya sebagai waktu terbaik menguatkan komunikasinya dengan Allah swt. Malam harinya dia jadikan waktu terindah untuk meluapkan semua rasa di hadapan Allah swt, menumpahkan semua keluh kesah kepada Dzat Maha Penyayang, dan mengutarakan semua harapan dan permohonannya kepada Dzat Maha Pengasih dan Pemurah.
Malam hari merupakan waktu paling ideal yang dimaksimalkan orang-orang berkuwalitas - sejak dahulu hingga sekarang - mengumpulkan energi untuk didarmabaktikan di siang hari melalui ragam aktivitas keagamaan dan keummatan.
Berbekal tiga point yang disebutkan di atas, ungkapan sang Murabbi tersebut mengantarkan saya untuk lebih meresapi firman Allah swt dalam surah al-Muzammil:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا. إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا.
Artikel Terkait
Spirit Tahajud - Keutamaan Doa Saat Shalat Tahajud
Telaah - Shalat Itu Persoalan Rasa