Oleh : Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
PortalAMANAH.com -- Urgensi perubahan sebagai esensi yang paling mendasar dari tahun baru Hijrah. Bahwa peringatan tahun baru bukan sekedar memperingati pergantian waktu. Tapi harusnya dipahami makna dan hikmah dari penetapan Hijrahnya Rasul sebagai awal kalender Islam.
Penanggalan dan Identitas
Salah satu hal yang selalu ditekankan dalam Islam adalah pentingnya umat ini memilki identitas dan jati dirinya. Pergantian kiblat misalnya kembali ke Ka’bah (masjidil Haram) di Mekah dari Masjidil Aqsa di Jerusalem sesungguhnya relevansinya bukan sekedar dalam hal ibadah ritual. Tapi ada penekanan komunal (kolektif) yang sangat penting.
Hal itu dapat disimpulkan dari sejarah perubahan itu. Baik pada konteks keadaan maupun konstalasi kemasyarakatan pada masanya. Keadaan ketika itu menggambarkan keadaan Mekah yang gelap gulita dalam kesesatan dan kesyirikan. Sementara Jerusalem masih digambarkan sebagai pusat nubuwwat (kenabian dan kerasulan). Artinya di sini bukan masalah ritual semata. Tapi ada konteks perubahan situasi kemasyarakatan (komunal).
Itulah yang digambarkan di ayat Al-Quran: “dan kalaupun kamu menyampaikan kepada Ahli Kitab semua tanda (argumentasi) mereka tidak akan mengikuti kiblat kalian. Dan kalian tidak akan mengikuti kiblat mereka” (Al-Baqarah: 145).
Artinya bahwa Kiblat jelas selain sebagai arah dalam melakukan ibadah ritual (sholat) juga harusnya menjadi Kiblat komunal umat. Kiblat komunal yang saya maknai sebagai “identitas komunal” (communal identity) umat.
Demikian pula dengan penanggalan Islam yang dikenal dengan tahun Hijriyah. Penetapan kalender Islam memilki nuansa keumatan yang kental. Bahwa tujuannya bukan sekedar kalkulasi-kalkulasi waktu. Tapi ada yang lebih mendasar dari itu. Bahwa secara kolektif umat ini harus memiliki identitasnya sendiri.
Oleh karenanya ketika Umar Ibnu Khattab, sang Khalifah ketika itu, memutuskan momentum hijrah sebagai awal kalender Islam, pastinya karena beliau ingin meyakinkan bahwa Hijrah merupakan identitas kebangkitan umat secara kolektif. Dengan Hijrah sesungguhnya bermulalah kebangkitan umat secara konektif.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah Kenapa Rasulullah SAW Hijrah? Apakah itu karena Mekah memang sudah tidak lagi kondusif untuk melanjutkan kerja-kerja dakwahnya? Apakah Rasul harus pindah karena tantangan-tantangan yang dihadapinya?
Jawabannya pasti bukan. Rasul Allah semuanya tidak akan meninggalkan medan perjuangan karena tantangan. Justeru semakin berat tantangan yang dihadapi semakin pula terbangun semangat dan optimisme untuk menang. Perpindahan Rasulullah ke Madinah yang disebut Hijrah itu karena memang Allah telah merancang peristiwa ini untuk menjadi jalan kebangkitan umat secara komunal. Dari Madinah untuk dunia.
Namun ada satu poin penting yang perlu digaris bawahi dari peristiwa ini. Bahwa Hijrah bukan sekedar berpindah tempat tinggal. Tapi esensinya ada pada pergerakan (harokah) dan komitmen perubahan (tahhyiir). Dengan Kata lain Hijrah itu lebih dimaknai sebagai melakukan pergerakan (movement) untuk tujuan perubahan dalam hidup dan perjuangan.
Pergerakan dan perubahan menjadi mendasar bagi perjuangan dan Kemenangan. Sebagaimana digariskan oleh Allah SWT: “sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubah diri mereka sendiri”. Artinya perubahan itu menjadi kunci terjadinya perubahan (pertolongan menuju kepada kebaikan dan pertolongan) dari Allah SWT.
Artikel Terkait
Spirit Muharram, Ust Aziz Ajak Hijrah Pola Pikir
Merawat Spirit Hijrah, Menuju Semangat Perubahan