Oleh : Ahmad M. Sewang, Ketua IMMIM
PortalAMANAH.com -- Saya bertemu dengan Bang Husni Djamuliddin, demikian panggilan akrab saya pada almarhum, pada 43 tahun lewat di awal 1979. Ketika itu, saya sedang dalam penyelesaian terakhir S1 Fakultas. Adab IAIN Alauddin Makassar, bersamaan perpindahan rumah kost dari jl. Mappanyukki ke jl. Maipa.
Kami mengurus masjid yang sama, Masjid Aqsha di jl. Maipa, pantai Losari dan membina pengkajian yang sama yaitu Pengkajian Aqsha, pengkajian yang disponsori umumnya para dokter, kecuali sebagian kecil seperti Bang Husni.
Membuat pengkajian ini semarak dan diminati adalah keberadaan seorang pejuang dari Tipalayo Mandar, yaitu Bang Husni. Ketika dipercaya sebagai Ketua panitia diskusi panel muballig professional di DPP IMMIM. Saya undang beliau sebagai nara sumber.
Baca Juga: KH Ambo Asse Bertemu Alumni Unismuh Makassar di Madinah
Beliau berkata, "Seorang mubalig professional adalah seorang yang well in-formed dan bersikap inklusif dalam menghimpun sebanyak mungkin informasi. Mubalig professional sama dengan wartawan yang selalu menyajikan berita mutaakhir, berita yang sudah berlalu satu hari jika tetap dipaksakan dimuat di mass media akan ditinggalkan oleh para pembacanya. "Kerja wartawan, hendaknya dapat diikuti kerja mubalig professonal yang selalu menyajikan hal-hal baru."
Semangat professional per definisi harus diimbangi dengan bayaran mamadai yang membuatnya survive. Sama dengan petinju lagendaris Muhamma Ali yang hidup dalam professinya sebagai petinju.
Bagaimana mubalig profesional? Apa mereka bisa hidup dalam profesinya? Kemudian dijawabnya sendiri. "Saya tahu persis honor para muballig yang tanpil di atas mimbar, tidak mungkin membiayai hidupnya sendiri, saya tahu itu, sebab saya pengurus masjid" kata Husni.
Baca Juga: Bhulugul Maram - Dua Rakaat Sebelum Maghrib
Maka almarhum menawarkan solusinya, yaitu daripada bicara yang tidak mungkin, maka bicaralah yang mungkin. "Mubalig professional yang mungkin adalah profesional dalam penyajian tetapi amatiran dalam bayaran," katanya.
Suatu ketika saya undang beliau ke Aula IAIN bersama putri-putrinya, di antaranya Yuyun Husni Djamaluddin dalam rangka pembacaan puisi di malam seribu bulan, Lailatul Qadar. Bang Husni berkata bahwa persyaratan utama untuk menjadi peyair yang baik adalah cerdas tidak bodoh alias dungu (meminjam istilah Rocky Gerung). Orang dungu tidak akan bisa jadi penyair yang baik. Untuk bisa jadi cerdas, maka dia harus membaca tanpa mengenal halte.
Terakhir, saya kutip kembali pandangannya, kenapa kita perlu Provinsi Sulawesi Barat. Ini bisa dilacak pada sambutannya di syukuran terbentuknya Sulawesi Barat sebagai provinsi ke-33 di Hotel Syahid Jakarta 22 September 2004.
Baca Juga: Tersirat - Kritik itu Membangun Bag 1
Beliau dipapa dengan kursi roda dari rumah sakit tempatnya dirawat. Setelah itu dikembalikan ke rumah sakit. Beliau berpesan dalam sambutannya, "Saya menginginkan Provinsi Sulawesi Barat yang kita cita-citakan ini adalah provinsi mala'bi (bermartabat), yaitu jauh dari korupsi, para pejabatnya pun harus memberi keteladanan yang tercermin lewat hidupnya yang sederhana," kata Husni.